WTP dan Paradoks Korupsi Kepala Daerah

Ditulis oleh: Muhammad Nur, Kepala Seksi VERA KPPN Banda Aceh

Sebuah kebanggan bagi suatu entitas akuntansi ketika ia berhasil memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), termasuk bagi pemerintah daerah (pemda). Opini WTP merupakan sebuah opini tertinggi yang dapat diperoleh dari entitas akuntansi atas penyajian transaksi-transaksinya ke dalam Laporan Keuangan. Apabila suatu entitas mendapatkan opini WTP, dapat dikatakan bahwa Laporan Keuangannya “bersih” dan disajikan secara wajar sesuai kaidah akuntansi pemerintahan yang berlaku. Predikat WTP ibarat sebuah pencapaian tertinggi bagi pemda dan Kepala Daerah. Namun demikian, di suatu daerah yang sudah berhasil mendapatkan predikat WTP kenapa masih pula terjadi korupsi yang bahkan melibatkan yang pucuk pimpinan tertinggi di daerah itu?

Tren berburu WTP ini semakin meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2020 saja, seluruh pemerintah provinsi telah mendapat WTP, sedangkan 364 dari 415 pemerintah kabupaten (87,7%) dan 87 dari 93 pemerintah kota (93,5%) berhasil memperoleh opini WTP (kompas.com, 10 November 2020). Dari tren ini kita seolah bisa menilai bahwa pemerintahan daerah sudah hampir seluruhnya bersih dari praktik-praktik korupsi. Akan tetapi, data justru menunjukkan sebaliknya. Data dari KPK menunjukkan bahwa Kepala Daerah yang terjerat kasus korupsi relatif banyak. Sejak tahun 2004 hingga 2019, setidaknya terdapat 126 kasus korupsi yang melibakan Kepala Daerah. Data tertinggi yaitu pada tahun 2018, dengan rerata per tahunnya terdapat 7 kasus korupsi Kepala Daerah (katadata.co.id, 7 September 2021). Sebuah paradoks tentunya, dikala WTP berhasil digapai namun kasus korupsi justru tak jua reda. Dikatakan bahwa salah satu penyebab utama terjadinya kasus-kasus korupsi di daerah adalah karena masih jamaknya praktik politik dinasti.

Paradoks antara WTP versus praktik korupsi sebenarnya dapat dikatakan saling terkait. Kita ambil sebuah analogi sederhana. Misalkan suatu transaksi pembelian tanah oleh pemda telah dicatat secara benar dan wajar sesuai prinsip akuntansi pemerintahan, maka pada pos tersebut dapat dikatakan bahwa pemda tersebut sudah WTP. Namun, benarkah realitasnya terjadi demikian? Benarkah bahwa ketika suatu transaksi telah disajikan dengan wajar di dalam Laporan Keuangan maka transaksi tersebut telah benar-benar bersih dari praktik korupsi? Hal ini perlu ditelaah lebih lanjut. Kita tidak bisa serta-merta menyatakan demikian. Bisa saja (kita bisa menduga) bahwa di dalam transaksi pembelian tanah tersebut telah terjadi mark-up misalnya. Secara bukti-bukti transaksi memang telah dicatat sesuai dengan nilai yang tertera di dalam kuitansi pembayaran serta bukti lainnya. Namun, bisa jadi (kita bisa menduga) harga tanah sebenarnya tidak sebesar yang dinyatakan dalam bukti tersebut. Atau, bisa jadi (kita bisa menduga) bahwa dalam proses pengadaan tanah tersebut telah terjadi persekongkolan untuk mengatur harga sehingga pihak-pihak yang terlibat (misal mafia tanah, oknum di pemda, dan sebagainya) merauk untung dari transaksi tersebut. Dari analogi ini kita dapat mengatakan bahwa secara formal mungkin transaksi tersebut benar (didukung oleh bukti-bukti yang valid), namun secara riil ternyata mungkin transaksi tersebut telah merugikan negara.

Memang jika diteliti lebih lanjut kita dapat mengatakan bahwa antara akuntansi (laporan keuangan) dengan pelaksanaan anggaran selalu berkaitan dan seharusnya tidak boleh terjadi kejanggalan apapun. Secara prinsip benar demikian, namun bagaimana dengan praktiknya? Ternyata masih banyak sekali celah baik dari sisi regulasi, transaksi, atau pelaporan keuangan yang bisa “diakali” oleh pihak-pihak pencari keuntungan pribadi. Dalam dunia akuntansi, kita juga mengenal istilah accounting engineeringyang biasanya digunakan oleh perusahaan untuk mengakali perpajakan. Mungkin, terminologi ini dapat pula dikatakan telah terjadi di dunia akuntansi pemerintahan apabila Laporan Keuangan pemda memperoleh predikat WTP, namun Kepala Daerahnya tersandung kasus korupsi.

Lebih lanjut kita dapat pula berargumen bahwa BPK hanya melakukan pemeriksaan terhadap standar pengungkapan laporan keuangan pemerintah sesuai prinsip-prinsip standar akuntansi pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta efektivitas sistem pengendalian internal (bpk.go.id). Akan tetapi, pencegahan praktik-praktik korupsi juga tidak bisa diabaikan dari peran aparat pengawasan internal pemerintah (APIP), dan juga auditor eksternal yaitu BPK. Selaku auditor, BPK diharapkan dapat pula menemukan dengan segera celah-celah dan potensi-potensi korupsi yang muncul dari suatu praktik pengelolaan keuangan negara untuk kemudian memberikan rekomendasi perbaikan pada sistem dan tata kelola(governance) keuangan negara yang pada gilirannya dapat mencegah perilaku korupsi dapat terulang kembali di masa mendatang.

 

Artikel ini telah dimuat di detikFinance pada tanggal 5 November 2021 (https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5798981/wtp-dan-paradoks-korupsi-kepala-daerah?_ga=2.253226569.138603224.1636373432-226152684.1635391129)

 

 

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Banda Aceh
Gedung Keuangan Negara, Gd A Lantai 1 
Jl Tgk Chik Di Tiro, Gampong Ateuk, Kec. Baiturrahman
Tel: 0651-29804 Fax: 0651-29804

IKUTI KAMI

Search